Semiotika Politik Bapak-Anak ~ Seno Gumira Ajidarma
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPertanda (yang ditandai) di balik penanda ditariknya AHY keluar dari dunia yang sangat dicintainya adalah besarnya pengorbanan anak kepada orang tua.
Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com
Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Tiada ruang untuk teori, langsung uji coba analisis saja, karena permainan penanda-penandanya memang menarik: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bertemu dengan Presiden Jokowi, makan siang bersama Gibran, tetapi menghadapi pers hanya berdua dengan putra Presiden- yang tersebutkan adalah bubur gudeg ("Enak sekali," kata AHY), The Yudhoyono Institute, dan Jokowi tak bisa hadir dalam peresmiannya.
Dalam teori Peirce (1839-1914) tentang tiga jenis tanda (simbol, ikon, indeks), indeksikalitas nama-nama ini penting: sebagian tanda merupakan bagian dari keberurutan (misalnya, ada asap, kita pun- tanpa melihatnya- tahu itu disebabkan api). Ambil saja AHY. Urutan terdekat adalah mantan calon gubernur, dan untuk terus mundur ke belakang: keluar dari militer, yang sangat disayangkan atasannya sendiri karena potensinya yang besar. Citra tak terhindarkan: militer (bakal) memimpin sipil.
Namun terdapat percabangan indeksikal: nama Yudhoyono, sebagai bagian dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dua kali menang pemilihan presiden, antara lain dengan melembutkan citra militernya melalui kepandaian bernyanyi (bukankah ini "kelemahan" Prabowo?) sehingga dari kemiliterannya hanya tinggal citra penting: ahli strategi. Trauma "dampak kemiliteran" semasa Orde Baru tak membekas di benak pemilihnya. Simbolisasi andalan kompetitornya, "wakil wong cilik" bagi Megawati dan "Islam nasionalis" bagi Amien Rais, hanya berdaya bagi sejumlah pemilih mereka.
Walaupun tiada hari tanpa kecaman, menjadi presiden dalam dua kali masa jabatan bukan "sekadar pekerjaan" bagi SBY, melainkan proyek identitas yang bukan saja tak perlu hilang, tapi juga perlu diwariskan. Pertanda (yang ditandai) di balik penanda ditariknya AHY keluar dari dunia yang sangat dicintainya adalah besarnya pengorbanan anak kepada orang tua, ketika tradisi dominan adalah sebaliknya. Mungkinkah tafsiran sebagai langkah perkenalan calon presiden 2019 dapat diterima?
Indeks lain lebur dengan pertandaan ikon (penanda yang serupa dengan yang ditandainya): pertemuan antara SBY dan Prabowo Subianto. Dalam semantik semiotika: SBY serupa dengan mantan presiden SBY, Prabowo serupa dengan mantan calon presiden Prabowo. Secara formal keduanya bertemu dalam skala partai, membahas persoalan presidential threshold, tetapi ikonisitas dan indeksikalitas mantan presiden dan calon presiden, artinya "serba presiden", jelas mengarah kepada koalisi dalam pesta demokrasi 2019, dengan AHY yang tak beralasan untuk tidak dilibatkan, jika bukan sebagai presiden, setidaknya wakil presiden.
Politik (pewarisan) identitas SBY dapat dibaca sebagai transformasi dari "saya (mantan) presiden" menjadi "kami (keluarga) presiden"- dan usaha mendekatkan AHY dengan ikon kepresidenan bisa dimulai dari kunjungan ke Istana Negara, mengundang Presiden RI untuk membuka peresmian The Yudhoyono Institute, yang notabene kegiatan swadaya mantan Presiden RI. Keberadaan ikon "dua presiden" di dekat-dekat AHY dalam pragmatik semiotika adalah strategis: suatu langkah catur di papan politik. Lihai!
Bagaimana langkah catur Jokowi? Presiden punya pengalaman politik sebatas gubernur, wali kota, dan bisnis mebel, tapi semestinya mengenal budaya "politik wayang", sengaja ataupun tidak sengaja, langkah-langkahnya tak kalah lihai. Jurus penyetaraan "antara presiden, (mantan) presiden, dan (calon) presiden" diimbangi dengan jurus pemilahan "bapak dengan bapak, anak dengan anak".
Dalam Bharatayudha, anak raja (sepantasnya) berpadanan dengan anak raja, bukan raja, Abimanyu bertarung dengan Lesmana Mandrakumara, bukan Suyudana; padanan hierarkis adalah prinsip: mengetahui sais Arjuna adalah Kresna, Karna meminta Salya menjadi saisnya- tetapi di depan pers, tanda-tanda melekat pada AHY dan Gibran, sesama "anak presiden", tidak menjadikannya sama.
Tampak kontras keduanya: AHY dengan batik artistik dan sepatu hitam, Gibran dengan hoody dan sneakers- formal-nasional terimbangi kasual-global? Meski begitu, kulinernya Gibran "lokal kreatif": bubur gudeg. Permainan memanfaatkan tanda-tanda kekuasaan yang politis (The Yudhoyono Institute = [presiden] intelektual juga lho!), teralihkan (sebagian) bagi keuntungan strategi bisnis. Permintaan pasar atas bubur gudeg kreasi Gibran ini setidaknya untuk sementara, mungkin meningkat, berkat model iklan yang efektif karena konteks: Agus Harimurti Yudhoyono. Lihai!
Semua itu adalah teks. Dalam semiotika, tiap penggunaan teks, tiap penanganan bahasa, tiap semiosis (penggunaan tanda), timbul berkat ideologi yang secara sadar atau tak sadar dikenal pemakai tanda. Suatu pemeriksaan atas mekanismenya akan memperlihatkan bagaimana muslihat atau manipulasi dilakukan (Van Zoest, 1990 [1980]: 62-9) meski ketulusannya sendiri boleh dipercaya- tapi ketulusan bukanlah urusan semiotika.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Peluang Timnas Indonesia Setelah Kalah dari Irak
Selasa, 16 Januari 2024 12:49 WIBDefisit Infrastruktur Air Minum
Rabu, 3 Januari 2024 16:40 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler